Sabtu, 05 Januari 2008

Mana Letak Moral Bangsa Kita

Sebagaimana telah maklum bahwa negara kita adalah negara hukum. Artinya segalanya harus ditundukkan di bawah hukum, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi hukum bukanlah segala-galanya. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Hukum kita adalah produk warisan kolonial. Hukum kita masih tergategorikan legal positivism tidak banyak legal realism. Betapa tidak!, realitanya hukum sendiri belum banyak memenuhi tujuan tersebut. Hukum sendiri --sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965-- sebenarnya harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984). Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang berbeda dengan bangsa Barat. Bangsa kita sangat menjunjung tinggi moralitas bangsa.
Tetapi akhir-akhir ini, tanpa disadari ataupun disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Betapa tidak!, sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama sudah diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai suatu kemajuan. engan berbagai alasan, diantaranya karena ia dinilai sebagai seorang artis yang melejit secara spektakuler. Suatu alasan yang irasionil dan non-filosofis. Tidakkah ini berarti melegalkan goyang ngebor dan konser semarak semuanya hampir nggak ada moral sama sekali kenapa ? kalau nggak seksi maka nggak akan terkenal katanya
Jika kita cermati dengan seksama, maka terlihat jelas bahwa goyangan ngebor dijadikan sebagai obyek yang dieksploitasi dengan kemasan yang indah di TV. Itu adalah salah satu program yang terkemaskan. Di balik itu, tanpa sadar atau disadari umat Islam sedang dihancurkan secara halus lewat penghancuran moralitas (akhlak). Padahal akhlak adalah sesuatu yang utama. Secara tegas dengan taukîd Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan moralitas --bangsa”
Di samping itu, bagi wanita yang berpikiran jeli akan merasakan hal ini, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap wanita, bukan malah mengangkat derajat wanita --sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini dan rekan-rekannya. Problem goyang ngebor telah menimbulkan kontroversi antara hukum dan moral. Dua hal ini memang akan selalu menarik perhatian. Di satu pihak bangsa kita adalah bangsa yang berkedaulatan atas hukum, dan di satu pihak bangsa kita menjunjung tinggi moralitas bangsa. Ketika terjadi perbenturan antara keduanya, bagaimana sikap kita? Bahkan problem inipun juga tidak lepas dari aspek politis. Secara politis, partai-partai sangat membutuhkan massa yang besar.Goyang ngebor dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini.
Dalam menyoroti problem tersebut, hendaknya segera dicarikan solusi pemecahannya yang mencerminkan terpenuhinya keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa mengorbankan moral sebagai religious values (nilai-nilai agama). Inilah tanggung jawab kita bersama terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem tersebut. Jika hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut ditransformasikan, seyogyanya moralitas menjadi perhatian dan diutamakan. Dengan segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem tersebut.
Hukum sebagaimana disebutkan di muka, harus mencakup tiga unsur, yakni kewajiban, moral dan aturan. Hukum itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai tool untuk menuju tujuan yang tinggi, yakni maqâshid al-syarî`ah. Maqâshid al-syarî`ah ini tidak bertentangan dengan HAM, bahkan meliputi HAM itu sendiri. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa hak-hak individu itu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak agama, yakni tidak boleh mengabaikan aspek moral. Apa jadinya, jika setiap orang diberi kebebasan berkreasi dimana malah akan merusak bangsa?. Tidakkah sebenarnya inilah yang bertentangan dengan HAM apalagi maqâshid al-syarî`ah di atas?. Karenanya sikap MUI yang secara tagas melarang goyangan Inul sangat tepat. Selain alasan karena maksiat, juga menutup pintu (sadd al-dzarî`ah) agar tidak terlalu jauh membawa dampak negatif, menghancurkan moralitas bangsa.
Oleh karena itu, hendaknya para pemimpin insyaf (sadar), bahwa apapun bisa dipolitisasi, tetapi jelas politisasi yang mengabaikan sisi moralitas tidaklah terhormat. Kampanye dengan menampilkan goyang ngebor, goyang ngecor cs adalah kemaksiatan yang harus dihindari dengan kaidah Dar’ al-mafâsid muqaddam `alâ jalb al-mashâlih (menghindarkan kemafsadatan [dampak negatif, berupa degradasi moralitas bangsa] itu lebih diutamakan daripada menarik kemanfaatan/massa). Yang dibutuhkan sekarang adalah profesionalitas dan kredibilitas moral dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan, baik keterpurukan ekonomi, moneter, kepercayaan, hukum hingga keterpurukan moralitas. Hanya kesadaran dan political will para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang maslahat (tasharruf al-imâm manûth bi al-mashlahah). Wa Allâh al-Musta`ân.

Tidak ada komentar: