Kamis, 17 Januari 2008

Supersemar yang Beredar Palsu

Pengamat multimedia dan pakar telematika, Roy Suryo berkeyakinan bahwa naskah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang beredar selama ini adalah palsu.

"Saya mengatakan, naskah yang beredar itu palsu," katanya kepada wartawan seusai menghadiri acara malam penganugerahan people of the year 2007 harian Seputar Indonesia di Jakarta, Rabu (16/1) malam.

Dalam kesempatan itu, Roy bahkan membagikan selebaran yang berisi empat buah versi Supersemar yang diberi tanda huruf A,B,C,dan D. Roy kemudian menunjuk perbedaan Supersemar yang menurut dia palsu dan asli.

Dari selebaran tersebut, memang ada perbedaan terutama pada bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, tata cara atau justifikasi penulisan spasi, rata kanan-kiri, jarak penulisan antar-huruf pada kata Jakarta di akhir surat, serta adanya logo pada kepala surat.

"Naskah supersemar A,B,dan C sumbernya tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan naskah yang D, ada dalam film selluloid asli yang dimiliki oleh Arsip Nasional Republik Indonesia," kata Roy.

Film selluloid asli milik ANRI juga merekam kejadian bersejarah saat ketiga pejabat militer pembawa Supersemar yaitu Brigjen Amir Machmud, Mayjen Basuki Rachmat, dan Brigjen M Yusuf pulang dari Istana Bogor dengan membawa sebuah naskah kepada Presiden Soekarno. "Awalnya dari sini, entah bagaimana kemudian bisa beredar beberapa naskah," katanya.

Oleh karena itu, Roy menegaskan bahwa tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa yang asli surat yang ada filmnya yang ada pada ketiga jenderal dan itu ada adalah naskah yang D.

Saat pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1966, tambah Roy, juga jelas disebutkan bahwa supersemar sebenarnya bukan pengalihan kekuasaan, melainkan pengalihan pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, dan perintah pengamanan keselamatan Presiden Soekarno.

"Saya berani menyimpulkan, karena yang lain-lain tidak pernah jelas sumbernya. Tapi, kalau yang D jelas saat surat itu terbit," katanya.

Roy menambahkan bahwa dirinya bukan orang yang pertama meragukan kebenaran supersemar yang beredar. Karena itu, menurut dia , perlu dimulai dari sekarang untuk meneliti dan melakukan verifikasi lebih lanjut oleh sejarawan dan para pakar lainnya.

Minggu, 13 Januari 2008

SOAL HUKUM MANTAN PRESIDEN SOEHARTO


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kunjungan kerjanya di Malaysia dipercepat, (Sabtu 12/1) kembali ke Jakarta dan di Bandara Halim Perdana Kusuma langsung minta penjelasan dari tim dokter Kepresidenan yang merawat Soeharto.
Setelah mendarat, Presiden dan rombongan masuk ke ruang utama Bandara Halim Perdana Kusuma untuk mendengarkan laporan langsung mengenai keadaan terkini kesehatan Soeharto dari tim dokter kepresidenan yang diwakili dr Christian A Johannes. Menurut Christian, dalam pertemuan itu, Presiden Yudhoyono menanyakan bagaimana keadaan Soeharto saat ini. Namun, presiden tidak memberikan saran atau pesan apa pun dan hanya menunjukkan kepedulian terhadap kondisi kesehatan Soeharto.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kediamannya di Cikeas, Bogor, Sabtu (12/1) minta kepada semua pihak untuk menghentikan polemik tentang masalah hukum mantan Presiden Soeharto yang saat ini masih terbaring sakit. �Mari kita hentikan polemik, debat, silang pendapat yang kurang bijak dan kurang tepat diangkat saat ini�.
Khusus masalah perdata mantan Presiden Soeharto, Presiden Yudhoyono mengaku mengikuti perkembangan terakhir dimana telah terjadi ajang debat publik, prokontra di berbagai forum. �Sesungguhnya saya tetap memandang tidak tepat membicarakan masalah itu dalam keadaan pak Harto seperti sekarang ini,� ujarnya. Presiden juga membantah adanya komentar yang seolah-olah pemerintahlah yang berinisiatif melakukan langkah penyelesaian kasus perdata mantan Presiden Soeharto. Pemerintah berpendapat, hal itu bukan prioritas dalam beberapa hari ini. Tidak ada keingingan pemerintah untuk memaksakan sesuatu yang tidak tepat. �Pemerintah berpendapat, pada saat yang tetap itu semua bisa dibicarakan untuk mendapatkan penyelesaian yang terbaik, tetap dalam koridor hukum dan keadilan,� katanya.
Dengan demikian, amat mungkin dicari cara penyelesaian terbaik yang menyangkut isu perdata itu. Presiden meminta rakyat Indonesia untuk mendoakan mantan Presiden Soeharto dan meminta rakyat untuk menghentikan pernyataan yang dinilai jauh dari kearifan sebagai suatu bangsa. �Pak Harto sebagai pemimpin sudah melakukan capaian dan karya yang tidak sedikit, terutama dalam bidang pembangunan nasional. Diakuinya, Pak Harto memiliki kekurangan dan kesalahan. �Namun itu tidak menghalangi kita untuk memberikan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap jasa dan pengabdian beliau. Keikhlasan berterima kasih dan menghormati para mantan pemimpin menunjukkan budi pekerti yang baik�, kata presiden

Sabtu, 12 Januari 2008

Bulan Suro Bulan Gawat?

saya tidak tahu persis asal muasalnya. Tapi dugaan saya nama "Suro", seperti nama-nama bulan Jawa yang lain, bermula dari istilah bahasa Arab. Dari kata "Asyuro". Tentang "Asyuro" yang jatuh pada hari ke sepuluh Muharram, mengapa disebut demikian, ulama berbeda pendapat. (Asyuro bersumber dari kata "Asyuro" atau "Asyrah" yang berarti sepuluh).

Ada yang mengatakan, disebut demikian karena memang Asyuro itu hari yang ke sepuluh Muharram. Ada yang mengatakan karena hari itu merupakan saat mulia yang ke sepuluh dari sepuluh saat yang dimuliakan oleh Allah (sembilan lainnya adalah: bulan Rajab, Sya'ban, Ramadhan, malam Qadar, Hari Fitri, hari-hari 'Asyar, hari Arafah, hari Nahr, dan hari Jumat). Ada yang mengatakan karena hari Asyuro itu terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan 10 Nabi Allah.

Umat Islam sendiri menyambut bulan Muharram (Suro) sebagai awal tahun baru Hijriyah. Sedang di hari Aysuro-nya (tanggal 10 Muharram) melakukan puasa; karena ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. berpuasa pada hari itu, seperti misalnya yang dinyatakan oleh shahabat Ibnu Abbas r.a.:


"Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari Asyura, Nabi Saw. bertanya: 'Hari apa ini?' Jawab mereka: 'Hari ini hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka, karena itu Musa mempuasainya.' Sabda Nabi Saw.: 'Aku lebih berhak daripadamu dengan Musa. Karena itu Nabi Saw. mempuasainya dan menyusruh mempuasainya.'" (HR al-Bukhari)

Kalau kemudian ada kepercayaan bahwa bulan Suro itu merupakan "bulan gawat" atau "bulan sial", boleh jadi itu ada kaitannya dengan tragedi terbunuhnya sayyidina Huesin bin Ali xa yang terjadi pada hari Asyuro di bulan Muharram. Dalam khazanah kitab kuning sendiri, ada juga pendapat yang menghubung-hubungkan puasa Asyuro dnegan musibah Husein tersebut.

Selain itu, maaf, saya tidak tahu. Mengapa orang mengira bulan Suro itu bulan "serem", mengapa orang pada mengeluarkan senjata dan memandikannya, mengapa orang "nyiriki" bulan itu untuk melaksanakan perhelatan dan sebagainya, terus terang saya tidak tahu. Kalau hal itu benar, artinya bulan itu memang bulan "gawat" dan "sial"m ya kasihan orang Jawa dong. Wong yang punya Suro cuma orang Jawa.

Dan jika benar, Suro itu berasal dari Asyuro, seperti halnya bulan Muharram, itu saat mulia untuk sementara ulama justru saat yang penuh berkah. Wallaahu A'lam.

Kamis, 10 Januari 2008

Logika penceraian rebutan anak

Seorang Suami dan Istrinya tengah menghadiri sidang perceraiannya. Dalam sidang akan memutuskan siapa yang mendapat hak asuh anak. Sambil berteriak histeris dan melompat - lompat si istri berkata :

"Yang Mulia, Saya yang mengandung, melahirkan bayi itu ke dunia dengan kesakitan dan kesabaran saya !! Anak itu harus menjadi hak asuh Saya !! "

Hakim lalu berkata kepada pihak suami:

"Apa pembelaan anda terhadap tuntutan istri Anda"

Si Suami diam sebentar, dengan nada datar ia berkata :

"Yang mulia... Jika saya memasukkan KOIN ke mesin minuman Coca-Cola, mesinnya BERGOYANG SEBENTAR, dan minumannya keluar, menurut Pak Hakim... Minumannya milik Saya atau Mesinnya?"

Hijrah Dari Sistem Sekular Menuju Sistem Islam

Sudah mulai menjadi agenda rutin di Tanah Air, kaum Muslim menyambut datangnya Tahun Baru Hijrah dengan berbagai kegiatan; mulai dari muhâsabah (perenungan), zikir akbar hingga berbagai festival seni dan budaya islami. Semua itu dilakukan dalam rangka menumbuhkan kecintaan pada penanggalan tahun Islam, serta untuk menyegarkan kembali pemahaman kaum Muslim terhadap satu peristiwa besar, yakni hijrahnya Rasulullah saw. dan para Sahabat ra. dari Makkah ke Madinah.

Tahun Baru Hijrah kali ini hadir dalam suasana penuh keprihatinan karena negeri ini sedang dilanda berbagai bencana. Banjir telah merendam berbagai desa dan kota di Sulawesi, Kalimantan, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan tempat lainnya. Gempa bumi menyisir daerah-daerah di Sumatra. Tanah longsor dan angin puting beliung juga telah merenggut ratusan jiwa dan merobohkan ribuan rumah di Jawa Tengah, Nusa Tenggara, Bali, dan sebagainya.


Renungan Tahun Baru Hijrah

Mengisi Tahun Baru Hijrah dengan berbagai kegiatan positif seperti muhâsabah, zikir akbar, festival seni islami dan semacamnya tentu saja baik selama tidak bertentangan dengan syariah Islam. Namun demikian, yang lebih penting lagi adalah bagaimana menjadikan Tahun Baru Hijrah sebagai momentum untuk melakukan perubahan nyata menuju kondisi masyarakat yang lebih baik.

Sebagaimana diketahui, meski waktu terus berubah dan tahun pun terus berganti, kondisi masyarakat di negeri ini yang mayoritasnya adalah umat Islam belum mengalami perbaikan. Keadannya bahkan cenderung memburuk. Tingkat kemiskinan pada akhir 2007 sudah mencapai 16,5 persen berdasarkan standar BPS, bahkan menjadi 49,5 persen menurut standar Bank Dunia. Pada saat ekonomi masyarakat melemah, biaya pendidikan malah makin meningkat. Keuangan negara juga makin menipis, karena di samping harus membayar bunga utang, praktik korupsi juga makin menggurita. Sementara itu, sebagian besar kekayaan alam sudah ‘dipersembahkan’ kepada pihak asing. Tentu, semua ini juga merupakan bencana yang sangat serius, di samping bencana alam yang terjadi saat ini.

Peringatan Tahun Baru Hijrah adalah terkait dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah tersebut dipahami sebagai titik baru perubahan menuju terwujudnya kondisi masyarakarat yang lebih baik.

Selama berdakwah di Makkah, Rasulullah saw. banyak mengalami kendala berupa tantangan dan ancaman dari masyarakatnya sendiri, kaum kafir Quraisy. Kondisi buruk itu terus berlangsung selama 13 tahun sejak Nabi Muhammad saw. menerima risalah kerasulan. Keburukan sistem Jahiliah yang dijaga oleh para penguasa Makkah ini telah menutup segala upaya perubahan yang oleh dibimbing wahyu.

Namun, cahaya harapan baru mulai bersinar di Madinah. Adanya kekuatan Islam yang secara nyata di Madinah, dan kesanggupan masyarakat Madinah untuk menerima Rasulullah sebagai pimpinan dalam menata kehidupan bermasyarakat, merupakan pendorong bagi Rasulullah untuk hijrah.

Hijrahnya Rasulullah ke Madinah, di samping karena perintah Allah SWT, juga demi keberhasilan dakwahnya untuk menata masyarakat yang lebih baik berdasarkan syariah Allah dalam wadah Daulah Islamiyah. Hijrah tersebut juga merupakan batas pemisah tahapan-tahapan dakwah Rasulullah, yaitu dari dakwah secara fikriyyah (pemikiran) ke sebuah kekuatan politik yang mampu menerapkan sekaligus menyebarluaskan Islam melalui jalan dakwah dan jihad.


Makna Syar‘i Hijrah

Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai upaya keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul kufur disandarkan pada dua perkara: (1) Hukum yang diberlakukan di negeri itu, apakah hukum Islam atau bukan; (2) Keamanan di negeri itu, berada dalam kekuasaan kaum Muslim ataukah pihak asing. Jika suatu negeri menerapkan hukum Islam dan keamanannya berada di tangan kaum Muslim maka ia disebut darul Islam. Namun, jika salah satu unsur itu tidak terpenuhi maka negeri itu menjadi darul kufur.

Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam). Artinya, Rasulullah berpindah dari satu negeri yang menerapkan sistem Jahiliah ke negeri yang kemudian menerapkan sistem Islam. Hijrah semacam inilah yang seharusnya juga dilakukan kembali oleh kaum Muslim saat ini, sesuai dengan hakikat hijrah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat itu. Caranya adalah dengan mengubah negeri-negeri kaum Muslim yang saat ini bersandar pada sistem sekular menjadi sebuah institusi negara—yakni Daulah Khilafah Islamiyah—yang menjalankan sistem hukum yang berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Dengan demikian, hijrah semestinya menjadi momentum bagi kembalinya sistem Islam ke tengah-tengah kaum Muslim, yakni dengan kembali menerapkan syariah Islam dalam kehidupan. Hal ini tidak mungkin mampu diwujudkan kecuali dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Karena itu, penegakan Daulah Khilafah Islamiyah sudah semestinya menjadi agenda utama perjuangan seluruh komponen umat Islam. Sebab, hanya dengan berhijrah mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyah inilah umat Islam akan kembali menjadi umat terbaik yang memimpin dunia dengan syariah-Nya.


Hijrah: Titik Tolak Kejayaan Islam

Hijrah Rasulullah saw. ke Madinah merupakan titik balik perubahan menuju terwujudnya kejayaan Islam setelah kurang lebih 13 tahun diperjuangkan oleh Beliau di Makkah. Sejak hijrah yang diikuti dengan pembentukan Daulah Islamiyah di Madinah, Islam mengalami perkembangan luar biasa. Bahkan hanya dalam kurun waktu 10 tahun kepemimpinan Rasulullah saw. di Madinah, Islam telah tersebar di seluruh Jazirah Arab.

Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin, kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab. Bahkan pasca Khulafahur Rasyidin, yakni pada masa Kekhalifahan Umayah, Abasiyah, dan Utsmaniyah yang terakhir, kekuasaan Islam hampir meliputi 2/3 dunia. Islam bukan hanya berkuasa di Jazirah Arab dan seluruh Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke Afrika dan Asia Tengah; bahkan mampu menembus ke jantung Eropa. Kekuasaan Islam bahkan pernah berpusat di Andalusia, Spanyol. Saat itu Khilafah Islamiyah menjadi negara adidaya yang mampu mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin melalui penerapan syariah secara kâffah dalam pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, hukum, hubungan luar negeri, dakwah, jihad, dan sebagainya.

Hal ini berbeda 180 derajat dengan kondisi kaum Muslim saat ini. Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, kaum Muslim mengalami kemunduran yang sangat tragis. Mereka terpecah-belah dalam sekat-sekat nasionalisme; dalam lebih dari 50 negara. Cengkeraman kafir penjajah sudah begitu kuat. Akibatnya, kondisi politik dan sosial ekonomi negeri-negeri Muslim sungguh sangat memprihatinkan. Sebagiannya dijajah secara militer, seperti yang terjadi di Irak, Afganistan, dan Palestina. Sebagian lainnya seperti Mesir, Saudi, Indonesia, dan sebagainya dijajah secara politik dan ekonomi. Umat Islam menjadi pihak yang tertindas di negeri mereka sendiri. Keadaan ini secara jelas telah dikabarkan oleh Rasulullah saw.:

يُوشِكُ اْلأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى اْلأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا. فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ

“Berbagai bangsa akan mengerubuti kalian sebagaimana orang-orang rakus mengerubuti makanan.” Seseorang bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit pada saat itu?” Rasul saw. menjawab, “Kalian pada saat itu bahkan berjumlah banyak. Namun, kalian seperti buih di lautan.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Khatimah

Berdasarkan pemaparan di atas, peringatan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. sudah saatnya dijadikan sebagai momentum untuk segera meninggalkan sistem Jahiliah, yakni sistem kapitalis-sekular yang diberlakukan saat ini, menuju sistem Islam. Apalagi telah terbukti, sistem kapitalis-sekular itu telah menimbulkan banyak penderitaan bagi kaum Muslim.

Awal tahun Tahun Baru Hijrah dan hari-hari kedepan adalah hari untuk menggelorakan kebangkitan Islam menuju perubahan hakiki dan mendasar. Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang dapat menyelesaikan secara tuntas seluruh persoalan kaum Muslim di seluruh dunia saat ini. Perubahan semacam itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua hal sekaligus. Pertama: membangun kekuatan politik internasional Khilafah Islamiyah yang menyatukan seluruh potensi kaum Muslim, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Kedua: menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam Khilafah Islamiyah tersebut. Syariah Islam akan mampu menyelesaikan berbagai problem sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, pendidikan, hukum pidana, dakwah, jihad, dan sebagainya. Hanya dengan cara inilah kaum Muslim akan mampu mengakhiri kondisi buruknya di bawah hegemoni sistem Kapitalisme global menuju kehidupan mulia dan bermartabat di bawah payung institusi global Khilafah Islamiyah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Wallâhu a‘lam bi ash-ash-shawâb. []

Minggu, 06 Januari 2008

MUSIBAH

Dalam dua tahun terakhir ini, negara kita seperti tidak pernah henti-hentinya mengalami cobaan dan musibah. Mulai dari wabah penyakit flu burung, gunung meletus,Gempa bumi,banjir, hingga demam berdarah yang senantiasa hadir menyertai musim penghujan. Belum lagi bencana lainnya.
Terkadang di antara kita atau keluarga yang terkena musibah sakit, kita tidak mampu berlaku sabar menerima ujian itu. Tidak jarang kita mempertanyakan keadilan Tuhan. Bahkan kita jarang menyempatkan diri pada saat itu bermuhasabah atas hal-hal yang telah kita lakukan.
Umat Islam harus menyadari bahwa penyakit adalah tebusan bagi dosa orang yang sakit. Apakah dosa orang yang sakit otomatis akan terhapus dengan sakit yang dideritanya? Tentu tidak! Dosa seseorang bisa terhapus bila ia melakukan taubat. Kita diperintah memperbanyak bacaan istighfar apabila kita sakit. Jangan malah menggerutu apalagi mengeluh (sambat-sambat: Jawa). Selain bertaubat, kita harus meniatkan hati agar bila sembuh tidak akan melakukan lagi perbuatan yang tidak diridlai Allah. Insyaallah dengan niat seperti itu dosa kita akan dihapus seiring dengan sakit/musibah yang kita derita.
Oleh karena itu, mumpung belum sakit gunakanlah nikmat kesehatan ini dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Bila sakit sudah menimpa kita, maka ibadah kita menjadi kurang sempurna. Bila salat pada waktu sehat bisa dengan berdiri, maka kalau sakit kita hanya bisa salat dengan duduk atau berbaring. Nikmat sehat inilah yang sering kita abaikan. Biasanya, ketika sakit barulah kita sadar bahwa sehat itu sangat penting dan mahal harganya.

Sabtu, 05 Januari 2008

Mana Letak Moral Bangsa Kita

Sebagaimana telah maklum bahwa negara kita adalah negara hukum. Artinya segalanya harus ditundukkan di bawah hukum, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi hukum bukanlah segala-galanya. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Hukum kita adalah produk warisan kolonial. Hukum kita masih tergategorikan legal positivism tidak banyak legal realism. Betapa tidak!, realitanya hukum sendiri belum banyak memenuhi tujuan tersebut. Hukum sendiri --sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965-- sebenarnya harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984). Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang berbeda dengan bangsa Barat. Bangsa kita sangat menjunjung tinggi moralitas bangsa.
Tetapi akhir-akhir ini, tanpa disadari ataupun disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Betapa tidak!, sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama sudah diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai suatu kemajuan. engan berbagai alasan, diantaranya karena ia dinilai sebagai seorang artis yang melejit secara spektakuler. Suatu alasan yang irasionil dan non-filosofis. Tidakkah ini berarti melegalkan goyang ngebor dan konser semarak semuanya hampir nggak ada moral sama sekali kenapa ? kalau nggak seksi maka nggak akan terkenal katanya
Jika kita cermati dengan seksama, maka terlihat jelas bahwa goyangan ngebor dijadikan sebagai obyek yang dieksploitasi dengan kemasan yang indah di TV. Itu adalah salah satu program yang terkemaskan. Di balik itu, tanpa sadar atau disadari umat Islam sedang dihancurkan secara halus lewat penghancuran moralitas (akhlak). Padahal akhlak adalah sesuatu yang utama. Secara tegas dengan taukîd Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan moralitas --bangsa”
Di samping itu, bagi wanita yang berpikiran jeli akan merasakan hal ini, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap wanita, bukan malah mengangkat derajat wanita --sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini dan rekan-rekannya. Problem goyang ngebor telah menimbulkan kontroversi antara hukum dan moral. Dua hal ini memang akan selalu menarik perhatian. Di satu pihak bangsa kita adalah bangsa yang berkedaulatan atas hukum, dan di satu pihak bangsa kita menjunjung tinggi moralitas bangsa. Ketika terjadi perbenturan antara keduanya, bagaimana sikap kita? Bahkan problem inipun juga tidak lepas dari aspek politis. Secara politis, partai-partai sangat membutuhkan massa yang besar.Goyang ngebor dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini.
Dalam menyoroti problem tersebut, hendaknya segera dicarikan solusi pemecahannya yang mencerminkan terpenuhinya keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa mengorbankan moral sebagai religious values (nilai-nilai agama). Inilah tanggung jawab kita bersama terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem tersebut. Jika hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut ditransformasikan, seyogyanya moralitas menjadi perhatian dan diutamakan. Dengan segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem tersebut.
Hukum sebagaimana disebutkan di muka, harus mencakup tiga unsur, yakni kewajiban, moral dan aturan. Hukum itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai tool untuk menuju tujuan yang tinggi, yakni maqâshid al-syarî`ah. Maqâshid al-syarî`ah ini tidak bertentangan dengan HAM, bahkan meliputi HAM itu sendiri. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa hak-hak individu itu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak agama, yakni tidak boleh mengabaikan aspek moral. Apa jadinya, jika setiap orang diberi kebebasan berkreasi dimana malah akan merusak bangsa?. Tidakkah sebenarnya inilah yang bertentangan dengan HAM apalagi maqâshid al-syarî`ah di atas?. Karenanya sikap MUI yang secara tagas melarang goyangan Inul sangat tepat. Selain alasan karena maksiat, juga menutup pintu (sadd al-dzarî`ah) agar tidak terlalu jauh membawa dampak negatif, menghancurkan moralitas bangsa.
Oleh karena itu, hendaknya para pemimpin insyaf (sadar), bahwa apapun bisa dipolitisasi, tetapi jelas politisasi yang mengabaikan sisi moralitas tidaklah terhormat. Kampanye dengan menampilkan goyang ngebor, goyang ngecor cs adalah kemaksiatan yang harus dihindari dengan kaidah Dar’ al-mafâsid muqaddam `alâ jalb al-mashâlih (menghindarkan kemafsadatan [dampak negatif, berupa degradasi moralitas bangsa] itu lebih diutamakan daripada menarik kemanfaatan/massa). Yang dibutuhkan sekarang adalah profesionalitas dan kredibilitas moral dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan, baik keterpurukan ekonomi, moneter, kepercayaan, hukum hingga keterpurukan moralitas. Hanya kesadaran dan political will para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang maslahat (tasharruf al-imâm manûth bi al-mashlahah). Wa Allâh al-Musta`ân.

Jumat, 04 Januari 2008

Bencana


Bencana Nasional
Karena itu, awal tahun 2008 sangat penting
diwaspadai, khususnya pada puncak musim hujan di bulan Januari.
Tingginya persentase kemiskinan penduduk, dan korban jiwa akibat
penyakit menular berbanding lurus dengan peningkatan volume curah
hujan. Penyebabnya, berkurangnya lapangan pekerjaan akibat genangan
banjir dan tingginya gelombang laut, diperparah lagi dengan semakin
aktifnya serangan vektor penyakit menular terhadap kesehatan manusia.

Kemiskinan dan wabah penyakit menular seharusnya
dikategorikan pula sebagai bencana nasional, karena jumlah korbannya
lebih besar dan berkelanjutan. Data majalah Times edisi Oktober 2006
menunjukkan, setiap tahunnya tercatat 1,9 juta orang meninggal
akibat diare, malaria sebanyak 853.000 orang, campak 395.000 orang,
dan HIV/AIDS tercatat 321.000 orang, belum catatan dari penyakit
menular lainnya. Sebagian besar korban jiwa justru dialami
masyarakat miskin.

Rabu, 02 Januari 2008

Merayakan Tahun baru Masehi

Nggak terasa perjalanan hidup kita di tahun 2007 ini tinggal menghitung detik aja. Itu dihitung saat artikel di buletin kesayangan kamu ini terbit pada akhir bulan Desember 2007. Sebenarnya hitungan tahun itu sekadar untuk ukuran. Bisa ditentukan aturan pengukurannya sama kita sendiri sebagai bahan untuk membuat target dan program dalam jangka waktu tertentu. Misalnya sedetik, semenit, satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, satu windu, satu dasawarsa, satu abad, satu milenium. Selain membuat target dan program, tentunya ukuran waktu tersebut sebagai bahan evaluasi diri dan perjalanan hidup kita.

Nah, ngomong-ngomong soal tahun baru masehi yang senantisa dirayakan dengan sangat meriah, kadangkala bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekadar merayakan pergantian tahun: old and new. Haruskah kita merayakan pergantian tahun tersebut? Padahal, isinya tak jauh dari “itu-itu” juga: kumpul bareng dengan keluarga, atau bersama komunitas yang kita buat, atau rame-rama membaur dengan masyarakat pada umumnya di tempat tertentu sambil menikmati makanan dan hiburan. Termasuk melanggengkan tradisi niup terompet pas detik jarum jam yang disepakati sebagai penanda awal dan akhir tahun tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00″.

Idih, apa enaknya kayak gitu? Cuma hiburan sesaat, suka-suka sejenak, setelah itu esok hari kita stres lagi dihadapkan pada langkanya minyak tanah, pada nasib diri yang tak kunjung membaik, pada semua harga-harga yang makin tak terbeli, pada banjir yang menenggelamkan kota, pada tanah longsor yang siap mengubur dan pada semua beban hidup yang mendera. Maklumlah, jaman sekarang lagi krisis kayak gini kalo sampe hura-hura keterlaluan banget! Iya nggak sih?

Belum lagi kalo kita ngomongin hukum merayakan pergantian tahun baru masehi, boleh apa nggak, haram apa nggak bagi kaum muslimin. Iya kan? Kita harus tahu. Malu atuh ama jenggot yang tumbuh di mana-mana (eh, jenggot kan cuma tumbuh di bawah dagu ya?). Iya, maksudnya udah gede tapi nggak tahu aturan syariat kan kayaknya gimana gitu? Nggak layak, gitu lho! Sori ini bukan merendahkan, tapi sekadar nyindir bin nyentil aja. Supaya kamu yang belum tahu terpacu untuk belajar. Setuju kan?

Hukum merayakan tahun baru masehi

Nah, sebelum membahas lebih lanjut, saya sengaja menempatkan subjudul ini lebih dulu ketimbang tema lain. Iya, ini supaya kita sebagai muslim bisa berhati-hati sebelum melakukan perbuatan. Sebab, berdasarkan kaidah fiqih dalam ajaran agama kita, bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara (sayriat Islam). Itu sebabnya, sebelum melakukan suatu perbuatan kita harus tahu apakah perbuatan tersebut dihukumi sebagai perbuatan yang dibolehkan, diwajibkan, disunnahkan, diharamkan atau dihukumi sebagai makruh.

Lalu apa hukumnya merayakan tahun baru masehi bagi seorang muslim? Jawaban singkatnya adalah SSTBAH alias sangat sangat tidak boleh alias haram. Titik.

Duh, kok saklek banget sih? Oke, kalo kamu pengen tahu sebabnya, gaulislam mo ngasih bocorannya nih. Bahwa merayakan tahun baru masehi adalah bukan tradisi dari ajaran Islam. Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri larut dalam gemerlap pesta kembang api atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat tetap aja nggak lantas menjadikan tuh perayaan jadi boleh atau halal. Sebab, ukurannya bukanlah banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi patokannya kepada syariat.Oke?

So, sekadar tahu aja nih, tahun baru masehi itu sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani, lho. Masehi kan nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya gini nih, menurut catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.

Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang kemudian ?memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi)

Nah, Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.

Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua-ini bukan munafik maksudnya, tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan dan belakan, depan bisa belakang bisa, kali ye?). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalo ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year, gitu lho.

Nah, jadi sangat jelas bahwa apa yang ada saat ini, merayakan tahun baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin. Tapi sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nasrani. Jangankan yang udah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari ritual mereka seperti tahun baru masehi dan ada hubungannya serta dianggap suci aja udah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Why?